الأحد، 16 ديسمبر 2012

ARTI AL-FAQIR

Kata faqir dalam istilah bahasa berasal dari akar kata f-q-r, yang dalam bentuk masdarnya bermakna tulang punggung, dan bentuk kerja faqara-yafqaru bermakna patah tulang punggung. Kata faqir sendiri bermakna orang yang patah tulang punggungnya, satu makna dengan bentuk mafqur.
Adapun makna faqir yang berkembang adalah lawan dari gani (kaya, cukup), yang meliputi kondisi lemah, ketidak berdayaan, membutuhkan, dan melarat.
Secara istilah, faqir adalah orang yang tidak mendapatkan bahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Asy-Syafi’i berpendapat faqir adalah orang yang tidak memiliki kekayaan, dan tidak memiliki mata pencaharian yang tetap, baik orang cacat maupun tidak, meminta-minta atau tidak. Seorang sufi Yahya ibn Mu’az mendefinisikan faqir adalah si hamba tidak bergantung kepada siapapun selain Allah swt. Dan tanda ke-faqir-an adalah tidak adanya harta benda.
Pengertian Faqir dalam al-Qur’an
Istilah faqir beserta jamaknya fuqara disebut sebanyak 12 kali dalam al-Qur’an. 5 kali disebut dalam bentuk tunggal pada surat: Ali Imran (3): 181; al-Haj (22): 28; al-Qashash (28): 24; an-Nisa’ (4): 6, 135. sementara bentuk jamaknya terdapat pada surat: al-Baqarah (2): 271, 273; at-Taubah (9): 60; an-Nur (24): 32; Faatir (35): 15; Muhammad (47): 38; al-Hasyr (59): 8. Selain itu terdapat kata lain dalam bentuk faqir yang termuat pada surat al-Baqarah (2): 268, dan bentuk faqirah pada surat al-Qiyamah (75): 25.
Secara umum makna faqir dalam al-Qur’an adalah sebagai lawan dari gina (kaya). Beberapa ayat secara eksplisit menghadapkan kata faqir dengan kata gina dalam beberapa bentuk jadiannya.
a. Kata fuqara berhadapan dengan kata gani:
يَأَ يُّهَا اْلنَّاسُ أَنْتُمُ اْلفُقَرَأُ إِ لَىاْللهِ وَاْللهُ هُوَاْلعَنِىُّ اْْلحَمِيْدُ
b. Kata faqir dengan agniya:
لَقَدْ سَمِعَ اْللهُ قَوْلَ اْلَذِيْنَ قَا لُوْا إِنَّ اْللهَ فَقِيْرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيِأُ…
c. Kata faqir dengan ganiyya:
… وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَاكُلْ بِا ْلمَعْرُوْفِِ …
d. Kata fuqara dengan yugni:
اَ … إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَأُ يُغْنِهِمُ اْللهُ من فَضْلِهِ …
Kata gina sendiri dengan berbagai bentuk jadiannya terulang sebanyak 69 kali dalam al-Qur’an. Pada umumnya tidak hanya bermakna memiliki banyak harta (kaya secara materi). Menurut al-Isfahani, kata gina memiliki beberapa macam makna. Pertama, tidak memiliki kebutuhan sedikitpun, dan itu hanya dimiliki oleh Allah swt dengan sifat ke Maha Kayaan- Nya.
Kata faqir merupakan kata yang memakai bentuk isim fa’il, dan dalam salah satu kaidah tafsir, berarti menunjukan kepada sesuatu yang tetap dan permanen. Dalam kasus ini kefaqiran berarti satu hal yang melekat dan permanen pada seseorang yang disebut faqir. Makna sendiri menurut al-Isfahani memiliki empat kategori. Pertama, faqir bermakna membutuhkan dalam hal yang paling mendasar, berlaku bagi seluruh manusia dan seluruh makhluk yang ada.
يَأَ يُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ اْلفُقُرَأُإِلىاْللهِ وَاللهُ هُوَاْلغَنِىُ اْلحَمِيْدَ
Pada ayat tersebut, faqir merupakan kebalikan dari gina mutlak yang menjadi sifat Allah swt Faqir disinipun bersifat mutlak dan bermakna kebutuhan manusia kepada penciptanya secara mutlak. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan lebih lanjut, kefaqiran dimaksud adalah kebutuhan manusia kepada kekuasaan Allah Ta’ala, dalam hidup matinya, dalam gerak dan diamnya di dunia dan di akhirat. Menurut at-Tabari, makna tersebut di atas memiliki implikasi bahwa manusia dituntut untuk beribadah hanya kepada Allah swt semata.
Makna faqir sendiri menurut al-Isfahani memiliki empat kategori.
Pertama, faqir bermakna membutuhkan dalam hal yang paling mendasar, berlaku bagi seluruh manusia dan seluruh makhluk yang ada.
يَأَ يُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ اْلفُقُرَأُإِلىاْللهِ وَاللهُ هُوَاْلغَنِىُ اْلحَمِيْدَ
Pada ayat tersebut, faqir merupakan kebalikan dari gina mutlak yang menjadi sifat Allah swt Faqir disinipun bersifat mutlak dan bermakna kebutuhan manusia kepada penciptanya secara mutlak. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan lebih lanjut, kefaqiran dimaksud adalah kebutuhan manusia kepada kekuasaan Allah Ta’ala, dalam hidup matinya, dalam gerak dan diamnya di dunia dan di akhirat. Menurut at-Tabari, makna tersebut di atas
memiliki implikasi bahwa manusia dituntut untuk beribadah hanya kepada Allah swt semata.
kedua, faqir dalam makna tidak memiliki kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kefaqiran jenis ini secara substansial satu makna dengan kata kemiskinan pada surat at-Taubah (9): 60.
Kedua, faqir dalam makna tidak memiliki kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kefaqiran jenis ini secara substansial satu makna dengan kata kemiskinan pada surat at-Taubah (9): 60.
إِنْ تُبْدُوْا اْلصَدَقَاتُ فَنِعِمَّاهِىَ وَإِنْ تَخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَااْلفُقَرَأَفَهُوَ خَيْرُلَكُمْ وَيُكََفِّرْعَنْكُمْ مِنْ سَيِّءَا تِكُمْ , …
Jenis faqir yang ini merupakan objek penerima sadaqah, baik yang sunah maupu yang wajib. Dalam al-Qur’an orang-orang faqir jenis ini memiliki ciri-ciri yang khas.
لِلْفُقَرأ اَّلذِيْنَ اَحْصِرُوْا فِى سَبِيْلِ اْللهِ لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرَبًا فِىاْلاَرْنِى يَحْسَبُهُمُ اْلجَا هِلُ أَغْنِيَأ مِنَ اْلتَّعَفُّفِ تَعْرِ فُهُمْ بِسِيْمَهُمْ لاَ يَسْءَلُوْنَ الَّناسَ ِإْلْحَافًاوَمَا تُنْفِقُوْمِنْ خَيْرٍفَأِنَّ اْللهِ بِهِ عَلِيْمٌ
Orang faqir yang dimaksud oleh ayat ini memiliki beberapa kriteria:
1. Uhsiru fi sabili Allah, orang faqir yang terikat dijalan Allah swt. Yaitu orang-orang Quraisy yang berhijrah bersama Nabi saw. (muhajirin). Asy-syinqiti menafsirkan ayat ini dengan surat al-Hasr: 8, yaitu orang faqir dari kelompok muhajiirn yang terusir dari kampung halaman dan harta benda mereka, untuk mencari ridha dan menolong Allah swt dan Rasul-Nya. Adapun maksud dari ungkapan tersebut adalah “orang yang terikat oleh jihad di jalan Allah swt”. Sebagian berpendapat bahwa jihad adalah perang melawan orang kafir sehingga mengkondisikan orang-orang tersebut dalam suasana perang dan tidak bisa menjalankan usahanya. Tetapi Hamka melihat jihad dimaksud bukan hanya perang, diantaranya belajar agama, ibadah dan mencatat wahyu yang turun.
2. La yastati una darban fi al-ardi, mereka orang faqir tersebut tidak bisa mencari usaha dan penghidupan karena ketidak pastian kondisi dan dalam keadaan diperjalanan. Pada akhirnya mereka tidak bisa hidup layak.
3. Yahsabuhum al-jahil agniya’a min at-ta’afuff, orang yang tidak tahu akan mengira mereka itu adalah orang kaya, karena mereka senantiasa menjaga diri (harga diri) dari meminta-minta. Juga karena kesabaran dan sikap qana’ah mereka.
4. Ta’rifu bi simahum, kefaqiran mereka bisa diketahui melalui tanda-tandanya dengan penglihatan terhadap keadaan fisik yang kurus dan lemah, atau dari segi pakaiannya yang lusuh. Bisa juga dengan bertanya kepada orang terdekatnya yang lebih mengetahui kondisi mereka.
5. La yas’aluna an-nasa ilhafan, tidak meminta-minta kepada orang lain. Sebagian berpendapat kalaupun meminta itu berarti yang menjadi haknya, yaitu sadaqah, itupun tidak memaksa.
Ketiga, kefaqiran jiwa. Ini merupakan sejelek-jeleknya kefaqiran seperti yang tergambar dalam sebuah hadis Nabi saw:
كَدَ اْلفَقْرُأَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Kategori ini kebalikan dari sifat qana’ah atau kekayaan hati seperti tergambar pada orang faqir dalam ayat al-Baqarah: 273 di atas. Juga kebalikan dari hadis Nabi saw yang lain:
أَلْغِنَى غِنَى اْلنَّفْسُ
Sesuai dengan kategori ini pendapat Bintusy-Syati yang mengatakan bahwa seseorang bisa dianggap kaya (gani) menurut bahasa agama, walaupun ia tidak memiliki harta yang banayak. Sebaliknya yang memiliki harta yang berlimpah dapat saja tidak di namai gani (kaya).
Keempat, kefaqiran terhadap petunjuk dan bimbingan Allah Ta’ala. Pada kategori ini al-Isfahani memasukan ayat.
. . ., رَبِّ إِنِّى ِلمَاأَنْزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ
Jumhur mufasir lebih banyak menafsirkan kata khar pada ayat tersebut sebagai makanan. Ibn Kasir mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah kebutuhan akan makanan, setela Musa as menempuh perjalanan dari Mesir ke negeri Madyan tanpa bekal makanan, sehingga menimbulkan rasa lapar yang sangat. Sementara Fakhr ar-Razi berpendapat, maksud ayat tersebut bisa berarti kebutuhan akan makanan bisa juga kepada hal lain. Menurut Binstusy-Syati kat khair sendiri memiliki beberapa makna, diantaranya kebaikan yang bersifat materi (harta) (23: 55-56), kuda (38:32), kebaikan sebagai lawan bahaya (7:18).
Ayatnya sendiri tidak memberi kejelasan maksud faqir disitu apakah kebutuhan terhadap makanan, petunjuk atau lainnya. Pada ayat terakhir yang memuat kata faqir, yaitu terdapat pada surat at-Taubah (9): 60, para mufasir berbeda pendapat dalam menentukan siapa sebetulnya yang disebut faqir pada makna kedua yang disebutkan al-Isfahani, berkaitan dengan adanya kata lain yang secara substansial bisa dibilang bermakna sama. Sama-sama tidak memiliki kekayaan memadai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tercatat sedikitnya ada lima kelompok pendapat yang berbeda.
1. Pendapat yang beranggapan faqir adalah melarat yang tidak minta-minta, dan miskin adalah yang meminta-minta. Pendapat ini didukung oleh: al-Hasan, Ibn Abbas, Jabir ibn Zaid, az-Zuhri, Mujahid.
2. Faqir dari kelompok orang cacat, sementara miskin dari kelompok orang sehat. Pendapat ini didukung oleh Qatadah.
3. Faqir dari kelompok muhajirin, dan miskin adalah orang mu’min yang tidak berhijrah. Pendapat ini didukung oleh: ibn Muzahim, Ibrahim, Sa’id ibn Jabir.
4. Faqir dari kelompok yang usahanya sangat lemah atau sebaliknya, yang berpendapat dengan ini adalah Umar ibn Khatab.
5. Faqir dari kelompok orang mu’min, dan miskin dari kelompok ahlu-alkitab. Pendapat ini didukung oleh: Ikrimah dan Ibn Abbas.